Hadits Berikut tentang Anjuran untuk berkata Baik atau lebih
baik diam serta memuliakan tetangga serta tamu.
عن أبي هريرة رضي
الله عنه أن رسول
الله صلى الله عليه
وسلم قال : من كان
يؤمن بالله واليوم الاخر
فليقل خيراً أو ليصمت
, ومن كان يوم بالله
واليوم الاخر فليكرم جاره
, ومن كان يؤمن بالله
واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah
bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
[Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna,
yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya
mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena
orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada
ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana
tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya
kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan
‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak
dapat mengendalikan lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali
menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan
keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia
tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu
bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau
diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila
seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia
diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak,
hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau
mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk
ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang
haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada
manusia.
Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan
‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan
manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak
dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas
dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di
atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang
berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka
hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu,
keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik
terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik
kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga,
sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta
tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan
orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian
besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini
mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu
ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang
kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang
ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara
segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan
makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa
memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan
bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih
utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata
benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini
mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran
kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan
orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik
dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang
yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar